Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman
serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang
bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya
merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik,
sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas
kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial,
ekonomi, politik, maupun kultural.
Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi
pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba
semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu,
kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik.
Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam
masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip
dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada
padanya negara tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar
masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba
tunggal.
Perlakuan Negara yang demikian kean diapresiasi dan
diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran sosial politiknya. Pada
gilirannya kesadaran yang bias state itu mengarahkan sikap dan perilaku sosial
masyarakat kepada hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan
dehumanisasi.
Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam
masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan
mereka terhadap pluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan
negara atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat
kian menonjol dan pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam
pikirnya diyakini “berbeda”. Dari sinilah konflik-konflik sosial politik
memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut
meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan
kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat.
Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state
masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku sosial dan politik.
Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi
pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi
pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state
yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai
bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini
di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi,
ternyata ada the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan
tragedi kemanusiaan itu.
Jadi, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus
mampu membongkar aspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada
aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan
dislearn atas wacana dan konstruksi pemikiran masyarakat. Di sini kita
sebenarnya berada dalam area dominasi dan hegemoni negara seperti yang
dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio Gramsci.
Repotnya, apa yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, dan
bukan revolusi sosial. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang moderat,
cenderung berkompromi dengan anasir-anasir lama yang pro-status quo. Ini yang
disebut Samuel P Huntington sebagai konsekuensi reformasi. Sementara revolusi,
karena sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam menghadapi rezim kekuasaan
yang lama dan anasir-anasir pro-status quo. Revolusi Bolshevik 1917 di bekas
negara Uni Soviet merupakan contoh dari ketegasan sikap para pemimpin gerakan
revolusi terhadap anasir kekuatan lama.
Dalam era pandang revolusioner, struktur kekuasaan harus dibalik
sedemikian rupa sehingga diujudkan struktur kekuasaan yang benar-benar baru.
Itulah mengapa kita rasakan perjalanan reformasi bangsa ini terasa menggemaskan
karena lambatnya. Seringkali kita memang tidak begitu sabar untuk menjadi
seorang demokrat, namun untuk menjadi seorang revolusioner sejati kita pun acap
tidak punya nyali.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi
menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih
kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan
wacana dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru.
Gerakan sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan
alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.
Mengapa demikian? Karena kekuasaan negara hari ini, meskipun
struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung
dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal
yang harus secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan
konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua,
kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat
jalannya agenda reformasi.
Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural
dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk
membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita
tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang
sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin
kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah momentum
yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal
mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara
ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable
democracy)
Selama berabad-abad, suku-suku bangsa di Indonesia umumnya hidup
rukun tanpa benturan yang berarti. Falsafat Pancasila yang bertumpu pada agama
lewat Ketuhanan Yang Maha Esa memberi konsep kedamaian abadi. Tiba-tiba pada
masa reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat sepertinya
ikut mengusik kerukunan itu, seolah-olah menyimbolkan kemerdekaan dari depresi
yang mendalam. Ibarat panas setahun dihapuskan hujan sehari. Semacam muncul
stimulus perubah kepribadian pelbagai pihak dalam waktu sekejap.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya.
Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Faktor – faktor penyebab konflik antara lain :
•Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan.
• Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
• Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
• Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok,
diantaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial.
• Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat.
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar
gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi
melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang
mengalami konflik dengan kelompok lain.
1. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
2. perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa
dendam, benci, saling curiga dll.
3. kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
4. dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat
dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang
berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema
dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap
hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai
berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan
menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan
menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan
menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak
tersebut.
• Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
• Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Contoh – contoh konflik sosial yang terjadi di dunia antara lain
:
• Konflik Vietnam berubah menjadi perang.
• Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak
terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik
Israel dan Palestina.
• Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
• Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.
• Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
• Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.
Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan
kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan
adalah realitas permanen dalam kehidupan, dan dialektika adanya konflik,
perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula.
Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan berkembang
menjadi liar dan kemudian merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi
tatanan berbangsa dan bernegara yang telah menjadi konsensus nasional. Karena
itu, manajemen politik yang ada seharusnya mampu mengendalikan konflik,
sehingga dapat menjadinya sebagai kekuatan yang mencerahkan, bukan kekuatan
yang menghancurkan.
Kemampuan manajemen politik itu akan ditentukan oleh seberapa
jauh dapat menyerap hakikat pendidikan multikultural. Jika tidak, maka
manajemen politik akan berubah menjadi manajemen bisnis politik konflik, yaitu
menjadikan konflik, sebagai bisnis politik untuk mendapatkan kekuasaan yang
lebih besar bagi kepentingan dirinya sendiri.
Dalam realitas kehidupan berbangsa, ternyata persatuan mengalami
pasang surut. Pada masa menjelang kemerdekaan, maka persatuan bangsa terasa
makin menguat dan bergelora di mana-mana, yang kemudian melahirkan semangat dan
kekuatan perlawanan kepada penjajah Belanda untuk merebut dan mendapatkan
kemerdekaan. Bahkan, agama pun turut memberikan legitimasinya untuk memperkuat
perlawanan terhadap penjajahan, sebagai bagian dari panggilan agama, karena
agama yang mana pun melarang umatnya untuk melakukan penjajahan atas bangsa
yang lainnya. Penjajahan dipandang agama sebagai suatu kezaliman yang harus
dilawan oleh siapa pun.
Akan tetapi, setelah kemerdekaan sudah dicapai dan sampailah
kita untuk menata kekuasaan negara, maka kita pun segera berhadapan dengan
usaha membagi-bagi kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan membagi kekuasaan
ternyata mempunyai kaitan dengan akar-akar konflik yang berbasis pada faham
kedaerahan dan keagamaan, sehingga muncullah konflik politik kekuasaan yang
berbasis fanatisme ras, suku dan keagamaan.
Konflik politik kekuasaan yang mencerminkan ketidak-adilan
membuat persatuan bangsa terguncang-guncang, terluka, terkoyak, dan sering kali
memperlemah rasa persatuan dan solidaritas kebangsaan.
Konflik sosial yang mewarnai pasang surutnya persatuan Indonesia
harus menjadi perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik
bangsa agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan
Indonesia. Salah satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural
yang dilakukan secara aktual, cerdas, dan jujur.
Pendidikan apa pun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya,
termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam
kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Demikian juga halnya
manusia sendiri pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang multidimensional.
Karena itu, pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang ada, tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan yang multidimensional. Dan, di dalamnya adalah pendidikan multikultural.
Karena itu, pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang ada, tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan yang multidimensional. Dan, di dalamnya adalah pendidikan multikultural.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal
ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat
negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan
keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam
masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun
mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak
ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat
sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam
corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi
juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan
organisasi sosial-politiklnya (Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang
Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan
minoritas, Sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan
terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual
maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional ( Penekanan dalam
masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa
telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara
pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa
sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam
interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan
solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan
sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut
dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah
ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat
berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi
setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang,
dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut
perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat
terhadap berbagai golongan tersebut diatas berupa tindakan-tindakan
diskriminasi dari yang paling ringan .
Realita konflik di lapangan adalah munculnya kerusuhan, saling
hasut-menghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, memperkosa, membunuh secara
sadis atau penuh pertentangan bathin, membakar, merampas hak milik orang lain,
mengusir, penghilangan dokumen-dokumen penting, membakar, dll.
Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi.
Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku
yang seolah wajar dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan
kekerasan menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena
perasaan masing-masing pihak adalah victim (korban) memicu dendam yang jika ada
kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan
dan kerugian materiil yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi.
Sebesar 15% responden menyatakan bahwa dampak konflik adalah jatuhnya korban
jiwa dalam jumlah besar, 11,4 % menyatakan kehilangan pekerjaan, 11,6%
menyatakan konflik telah membuat mereka yang tadinya akur dan rukun terpaksa
harus saling berkelahi karena perbedaan identitas, bahkan 12,4% menyatakan
bahwa perkelahian dan konflik tersebut mengakibatkan putusnya hubungan
kekeluargaan diantara mereka yang secara kebetulan berbeda identitas etnis atau
agama. Kerugian materiil, berupa kerusakan sarana ibadah dan sarana pendidikan
masing-masing diutarakan oleh 9,8% dan 7,8% resoponden.
Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan
penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Yaitu
sebesar 16,7% responden menyatakan konflik telah membuat mereka selalu
dihinggapi rasa takut dan merasa selalu tidak aman. Akibatnya, diantara
kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa
kepercayaan diantara warga masyarakat (distrust), dinyatakan oleh 15%
responden.
Dampak konflik lainnya adalah mengundang turun tangan keluarga
dan sanak saudara dari kepulauan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga ibu
kota negara datang membantu keluarganya secara ekonomi, tenaga, ikut berperang
dll. Di sudut agama terpanggil rasa solidaritas se-agama dari pelbagai
organisasi sosial keagamaan dari pelbagai penjuru tanah air hingga dari luar
negeri. Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para pencuri, menyaru sebagai
penyelamat-pemihak ternyata mejarah milik semua pihak.
Pasca konflik, ekses masih berlanjut, perumahan, lembaga
pendidikan, perkantoran, sarana ibadah musnah setidaknya hancur, kehilangan
harta benda, mata pencaharian dan sanak saudara, orang cacat, putus sekolah,
penderita keabnormalan jiwa, saling curiga, hari depan yang suram, pihak
keamanan dan birokrasi kehilangan kharisma, dll.
Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. Trauma komunal ini juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’ dari kedua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok identitas yang berkonflik
Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. Trauma komunal ini juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’ dari kedua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok identitas yang berkonflik
Konflik yang terjadi di lima wilayah Sampit, Sambas, Ambon, Poso
dan Ternate, menampilkan interaksi yang rumit antara kekuatan-kekuatan yang
berbeda. Namun demikian semua kasus di tiap wilayah mewakili jenis konflik yang
mengakar dan berkepanjangan. Karenanya, kesemuanya membutuhkan pendekatan yang
berbeda-beda dan institusi yang berbeda pula untuk mengelola pertikaian dan
membangun perdamaian yang berkelanjutan. Lebih jauh, masing-masing membutuhkan
penciptaan struktur yang terancang baik yang sengaja ditujukan untuk kebutuhan
yang spesifik. Karena itu sesungguhnya, tidak ada ”resep manjur” yang dapat
diterapkan untuk mengatasi segala jenis konflik.
Di sinilah justru kelemahan dari upaya penanganan yang selama
ini sudah dilakukan pemerintah. Dimana pola penanganan konflik di tiap wilayah
cenderung ”diseragamkan”. Hal tersebut terlihat dari respon masyarakat yang
menyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah selain memberikan bantuan
fisik materiil, seperti sembako, atau tempat penampungan hanya berkisar pada
fasilitasi dialog (diutarakan oleh 46,3% responden), penjagaan oleh aparat
keamanan (34,4%) dan sosialisasi perdamaian (19,2%).
Upaya-upaya yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan
substansi sebagaimana dikemukakan dalam point cara penanganan konflik, seperti
penguatan basis sosial dan ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber
daya ekonomi secara lebih adil dan seterusnya belum banyak dilakukan.
Akibatnya, pemerintah seringkali terjebak dalam paradigma menyelesaikan konflik
dan bukannya mengelola konflik.
Dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan
Bloomfield, Ben Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan
terdahulu, maka respon masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara
penyeleaian konflik yang mereka alami sungguh relevan dengan paradigma
penanganan konflik mutakhir itu, dimana sebagian besar responden 73,2%
menyatakan agar penyelesaian konflik dilakukan sendiri oleh masyarakat di
masing-masing desa dengan melibatkan para tokoh agama, adat, etnis dan berbagai
pemuka dan komponen masyarakat yang kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan
agar penyelesaian konflik dilakukan di rumah ibadah saja, dengan difasilitasi
oleh para pemuka agama. Hanya 7,5% saja yang menginginkan agar konflik
diselesaikan di kantor polisi serta 5,7% saja yang menyatakan agar diselesaikan
di pengadilan.
Untuk mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka warga
masyarakat daerah konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih
mengembangkan sikap saling menghargai, diutarakan oleh 27,6% responden. Selain
itu juga harus dikembangkan sikap tenggang rasa (18,5%), bersedia untuk berbaur
dan tidak mengelompok secara eksklusif (16,6%), serta mau bergotong (15,5%).
Dalam pen-Takdir-annya sebagai negara kepulauan atau negara
maritim yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah dan
masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak dari sejarah perjalanannya
sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan tersebut agar menjadi modal
sosial pembangunan bangsa. Masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman
kelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa beserta tradisi-budayanya itu,
tidak hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa
mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat
mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika
kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik.
Sebagai unsur pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk,
kelompok-kelompok etnik memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan
sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan eksistensi
mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik menjadi pedoman kehidupan
mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat-istiadat, tradisi,
bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul
daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik
menjadi ciri pemerlain atau pembeda suatu kelompok etnik dari kelompok etnik
yang lain. Kebudayaan dan atribut sosial-budaya sebagai penanda identitas
kelompok etnik memiliki sifat stabil, konsisten, dan bertahan lama.
Konflik erjadi yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia
merupakan akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat
heterogen dalam satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi
kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Kepentingan itu
dilaterbelakangi tujuan politik, ekonomi dan agama.
Upaya itu tidak mencapai sasaran puncak karena ditingkat elit
dan pelaksana pihak keamanan dan birokrasi mayoritas masih komit dengan negara
kesatuan sehingga serius memperkecil zona konflik dan kefatalan pelbagai
dampaknya. Masyarakat dari berbagai suku dan agama juga tidak memiliki basic
yang kuat memasuki kancah konflik bahkan sebaliknya dari semula sudah terbiasa
hidup rukun dan damai dalam berbagai perbedaan.
Namun begitu karena masyarakat telah semakin berpendidikan dan
cerdas, ditambah dengan nuansa reformasi secara mencuatnya konsep HAM, mereka
menginginkan agar pelbagai pihak yang terkait dengan pembangunan kehidupan
mereka, seyogyanya mengikutsertakannya dalam merancang program itu sehingga
sesuai sasaran.